Era keemasan Islam yang berlangsung dari abad ke-8 M hingga 13 M begitu banyak meninggalkan warisan bagi peradaban manusia.
Dalam
masa kejayaannya, umat Islam ternyata telah berhasil melakukan
transformasi fundamental di sektor pertanian yang kini dikenal sebagai
Revolusi Hijau Abad Pertengahan atau Revolusi Pertanian Muslim.
Kala
itu, para saudagar Muslim di sepanjang 'dunia tua' yakni Eropa, Asia,
dan Afrika sebelum abad ke-15 M , mampu membangun perekonomian global.
Revolusi
hijau telah memungkinkan beragam tanaman berikut teknik bercocok
tanamnya menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam. Pada era itu,
berbagai teknik serta penyebaran berbagai hasil pertanian dari luar
dunia Islam dapat dengan mudah diadopsi.
Umat Islam pada abad
pertengahan juga telah menjadi pelaku utama globalisasi hasil pertanian.
Ketika itu, tanaman asal Afrika seperti gandum, buah jeruk khas negeri
tirai bambu Cina, serta sejumlah tanaman asli dari India seperti buah
mangga, beras, kapas, serta gula tebu ternyata dikembangkan dan
didistribusikan melalui tanah-tanah yang dikuasai Islam.
Lalu
bagaimana globalisasi dan revolusi hijau itu berawal? Cikal bakal
globalisasi sudah mulai terbentuk ketika Dinasti Islam menjadi pusat
peradaban dunia dan Islam berada dalam era keemasan.
Ketika itu,
pengetahuan, perdagangan dan perekonomian dari berbagai wilayah yang
awalnya terisolasi mulai menjalin kontak dengan para penjelajah, pelaut,
sarjana, saudagar, serta wisatawan Muslim.
Beberapa kalangan
menjuluki periode itu sebagai Pax Islamica atau 'Era Penemuan
Afro-Asiatic'. Para saudagar serta penjelajah Muslim yang mengarungi
'dunia tua' mulai membangun cikal bakal perekonomian global.
Jaringan
perdagangan pun berkembang luas di Asia, Afrika, serta Eropa. Jalur
perdagangan kala itu sudah menyebar dari Samudera Atlantik dan Laut
Mediterania di bagian Barat, menuju Samudera India dan Laut Cina di
bagian Timur.
Berkembangnya perekonomian global pada abad
pertengahan didukung oleh berdirinya Dinasti Islam, seperti Khalifah
Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, serta Fatimiyah. Sebab, pada masa dinasti
itu berkuasa, pemerintahan Islam menjadi kekuatan ekonomi terkemuka dan
terbesar dari abad ke-7 M hingga abad ke-15 M.
Guru besar sejarah abad pertengahan, Prof Thomas F Glick, menuturkan,
revolusi pertanian Muslim ditandai dengan munculnya varietas
tanaman-tanaman yang baru serta dibangunnya jaringan irigasi yang luas
dan intensif.
''Pada masa itu, petani Muslim bisa menanam
tanaman sebanyak tiga sampai empat kali dalam setahun di atas lahan yang
awalnya hanya bisa ditanami sekali setahun,'' ungkap Glick.
Seiring
berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di pusat-pusat pemerintahan Islam,
para sarjana dan petani Muslim mulai mengembangkan inovasi di bidang
pertanian. Seperti diungkapkan Glick, umat Islam pada era itu sudah
mengembangkan sistem rotasi tanam dengan cara modern.
Dengan
mengetahui karakteristik tanaman serta tanah, para petani pada saat itu
bisa memanen hasil pertaniannya lebih banyak dan lebih sering.
Dr Zohor Idrisi dalam tulisannya yang bertajuk The Muslim Agricultural Revolution
mengungkapkan, para saudagar yang menjelajah dunia selalu pulang
membawa bibit tanaman. ''Kebanyakan tanaman yang bernilai guna, seperti
tebu, pisang, dan kapas membutuhkan air,'' papar Idrisi.
Untuk
menanam bibit tanaman yang dibawa dari berbagai wilayah itu, para petani
Islam ketika itu membangun sistem irigasi buatan yang luas. Tak heran,
jika irigasi buatan lebih dikenal di dunia Islam, ketimbang di Eropa.
Apalagi,
pada era itu pemerintahan Islam sangat mendukung pembangunan di sektor
pertanian. Maka, jaringan dan saluran irigasi pun dibangun untuk
mengairi kebun dan sawah. Pembangunan pertanian yang dilakukan umat
Islam dikembangkan berdasarkan pendekatan ilmiah.
Hal itu
terlihat dari tiga elemen utama penunjang pertanian yakni; sistem pola
tanam yang mutakhir, teknik pembangunan irigasi yang tinggi, serta
munculnya beragam varietas tanaman yang disertai dengan katalog
berdasarkan musim, tipe tanah, dan jumlah air yang dibutuhkan.
Para sarjana pertanian Islam juga mampu menyusun sejumlah ensiklopedia pertanian dan ilmu tumbuh-tumbuhan atau botani.
Salah seorang sarjana pertanian Muslim yang banyak memperkenalkan dan menemukan tanaman baru adalah Ibnu Al-Baitar.
Pada
awal abad ke-9 M, sistem pertanian modern telah menjadi sentra
kehidupan ekonomi dan organisasi dalam dinasti Islam. Kekhalifahan Islam
menggantikan peran Roma sebagai eksportir produk pertanian.
Selama
revolusi pertanian Muslim, pengolahan gula mulai diproduksi secara
besar-besaran. Penggilingan dan perkebunan gula dalam skala besar
bermunculan.
Sejumlah kota di 'Timur Dekat' seperti Anatolia,
Yordania, Suriah and Lebanon, Georgia, Armenia, Mesopotamia, Afrika
Utara, dan Spanyol didukung dengan sistem pertanian yang ditopang
irigasi yang luas berbasis pengetahuan hidrolik dan prinsip-prinsip
hidrostatis.
Sistem irigasi juga digerakkan dengan sistem yang
canggih seperti noria, pemutar air, dam, serta waduk. Pada era keemasan
Islam, penguasa juga memberikan insentif bagi para pemilik lahan serta
para petani penggarapnya.
Dinasti Islam pada masa itu mengakui
kepemilikan pribadi dan hasil panen dibagi dengan para penggarapnya.
Sementara Eropa masih menerapkan sistem budak di pertanian dan
perkebunan.
Pada zaman kejayaan Islam berlangsung transformasi
sosial melalui perubahan kepemilikan lahan. Setiap orang, perempuan atau
laki-laki dari berbagai etnis serta agama memiliki hak untuk membeli,
menjual, menggadaikan, serta menyewakan lahan untuk pertanian atau
keperluan lainnya.
Setiap kesepakatan dalam pertanian, industri,
perdagangan dan ketenagakerjaan harus disertai dengan kontrak. Kedua
belah pihak harus memegang kontrak itu. Demikianlah, Islam menjadi
pelopor revolusi hijau dan globalisasi hasil pertanian di abad
pertengahan.
Source: republika.co.id
Jumat, 20 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar