Catatan dr. Jal

Rabu, 25 Juli 2012

Sabun, Warisan Islam yang Terlupakan (2)

0 komentar
Sherwood Taylor, dalam Medieval Trade in the Mediterranean World menyebutkan, pada abad ke- 13 M, sabun batangan buatan kota-kota Islam di kawasan Mediterania telah diekspor ke Eropa.

Pengiriman sabun dari dunia Islam ke Eropa, kata Taylor, melewati Alps ke Eropa utara lewat Italia. Selain sabun, dunia Islam pun telah menggenggam teknologi pembuatan beragam alat kosmetik. Salah satunya adalah parfum.

Umat Islam di zaman kekhalifahan juga telah mengembangkan teknologi pembuatan parfum hingga menjadi sebuah industri yang sangat besar.

Para sejarawan meyakini bahwa fondasi industri minyak wangi yang berkembang pesat di dunia Islam dibangun oleh dua ahli kimia termasyhur, yakni Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M) serta Al-Kindi (805-873 M).

Kimiawan Muslim dari abad ke-12, Al-Isybili, mengungkapkan, pada masa kejayaan Islam terdapat tak kurang dari sembilan buku teknis dan pedoman bagi pengelola industri parfum. Meski begitu, kitab tentang pengolahan minyak wangi atau parfum yang masih tersisa hanyalah Kitab Kimiya Al-Itr (Book of the Chemistry of Perfume and Distillations) karya Al-Kindi.

Jauh sebelum Al-Kindi, pengembangan industri parfum di dunia Islam juga sempat dilakukan ‘Bapak Kimia Modern’ Jabir Ibnu Hayyan. Ia mengembangkan beberapa teknik, termasuk penyulingan (distilasi), penguapan (evaporation), dan penyaringan (filtrasi). Ketiga teknik itu mampu mengambil aroma wewangian dari tumbuhan dan bunga dalam bentuk air atau minyak.

Teknik dan metode dasar yang diletakkan oleh Jabir itu dikembangkan Al-Kindi. Ia melakukan riset dan eksperimen dengan lebih cermat. Al-Kindi mencoba mengombinasikan beragam tanaman dan bahan-bahan lain untuk memproduksi beragam jenis parfum dan minyak wangi.

Ilmuwan Muslim asal Kufah, Irak, itu pun berhasil menemukan tak kurang dari 107 metode dan resep untuk membuat parfum serta peralatan pembuatannya. Begitulah, dunia Islam di era keemasan telah mampu mengembangkan industri sabun dan juga parfum.

Resep Sabun Warisan Peradaban IslamMinyak zaitun dan al-Qali merupakan bahan utama pembuatan sabun. Bahan lain yang kerap digunakan untuk membuat sabun adalah natrun.

Lalu, bagaimana proses pembuatan sabun dilakukan di dunia Islam pada abad ke-13 M? Berikut ini resep pembuatan sabun yang ditulis Daud Al-Antaki seperti dikutip Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk, Islamic Technology: An Illustrated History.
“Inilah cara membuat sabun yang diwariskan peradaban Islam: Ambil satu bagian al-Qali dan setengah bagian kapur. Giling dengan baik, kemudian tempatkan dalam sebuah tangki. Tuangkan air sebanyak lima bagian dan aduk selama dua jam. Tangki dilengkapi lubang bersumbat.”

“Setelah pengadukan berhenti dan cairan menjadi jernih, lubang ini dibuka. Jika air sudah habis, sumbat kembali lubang tersebut, tuangkan air dan aduk, kosongkan dan seterusnya sampai tak ada lagi air yang tersisa.”

“Faksi air di setiap periode dipisahkan. Lalu, minyak yang sudah murni diambil sebanyak 10 kali jumlah air yang pertama tadi, lalu letakkan di atas api. Jika sudah mendidih, tambahkan air faksi terakhir sedikit demi sedikit. Kemudian tambah dengan air faksi nomor dua terakhir, sampai air faksi pertama.”

“Dari proses itu, akan diperoleh campuran seperti adonan kue. Adonan ini disendok (dan disebarkan) di atas semacam tikar hingga kering sebagian. Kemudian, tempatkan dalam nura (kapur mati). Inilah hasil akhir dan tidak diperlukan lagi pendinginan atau pencucian dengan air dingin selama proses.”

“Ada kalanya ditambahkan garam ke dalam al-Qali dan kapur sebanyak setengah kali jumlah kapur. Selain itu, juga ditambahkan amilum tepat sebelum proses selesai. Minyak di sini dapat diganti dengan minyak lain dan lemak seperti minyak carthamus.”

Itulah salah satu resep pembuatan sabun yang berkembang di dunia Islam. Sejatinya, masih banyak risalah lain yang mengungkapkan formula pembuatan sabun. Salah satunya adalah buah pikir Al-Razi.

Read:Sabun, Warisan Islam yang Terlupakan (1)
newer post

Sabun, Warisan Islam yang Terlupakan (1)

0 komentar
Salah satu penemuan penting yang dicapai umat Islam di era keemasan adalah sabun. Sejak abad ke- 7 M, umat Muslim telah mengembangkan sebuah gaya hidup higienis yang mutakhir.

Menurut Ahmad Y Al-Hassan dalam bukunya yang berjudul Technology Transfer in the Chemical Industries, kota-kota Islam seperti Nablus (Palestina), Kufah (Irak), dan Basrah (Irak) telah menjadi sentra industri sabun. “Sabun yang kita kenal hari ini adalah warisan dari peradaban Islam,” papar Al-Hassan.

Menurut Al-Hassan, sabun yang terbuat dari minyak sayuran, seperti minyak zaitun serta minyak aroma, pertama kali diproduksi para kimiawan Muslim di era kekhalifahan.

Salah seorang sarjana Muslim yang telah mampu menciptakan formula sabun adalah Al-Razikimiawan legendaris dari Persia. “Hingga kini, formula untuk membuat sabun tak pernah berubah,” kata Al-Hassan.

Sabun yang dibuat umat Muslim di zaman kejayaan sudah menggunakan pewarna dan pewangi. Selain itu, ada sabun cair dan ada pula sabun batangan. Bahkan, pada masa itu sudah tercipta sabun khusus untuk mencukur kumis dan janggut.

Harga sabun pada 981 M berkisar tiga Dirham (koin perak) atau setara 0,3 Dinar (koin emas). Resep pembuatan sabun di dunia Islam juga telah ditulis seorang dokter terkemuka dari Andalusia, Spanyol, bernama Abu Al-Qasim Al-Zahrawi alias Abulcassis (936-1013 M).

Ahli kosmetik ini memaparkan tata cara membuat sabun dalam kitabnya yang monumental bertajuk Al-Tasreef. Al-Tasreef merupakan ensiklopedia kedokteran yang terdiri atas 30 volume. Kitab itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan digunakan sebagai buku referensi utama di sejumlah universitas Eropa terkemuka.

Sang dokter memaparkan resep-resep pembuatan beragam alat kosmetik pada volume ke-19 dalam kitab Al-Tasreef. Selain itu, resep pembuatan sabun yang lengkap tercatat dalam sebuah risalah bertarikh abad 13 M.

Manuskrip itu memaparkan secara jelas dan detail tata cara pembuatan sabun. Fakta ini menunjukkan betapa dunia Islam telah jauh lebih maju dibandingkan peradaban Barat. Masyarakat Barat, khususnya Eropa, diperkirakan baru mengenal pembuatan sabun pada abad ke-16 M.


Pabrik sabun kuno (ilustrasi)


Namun, Sherwood Tay lor (1957) dalam bukunya yang berjudul A History of Industrial Chemistry, menyatakan peradaban Barat baru menguasai pembuatan sabun pada abad ke-18 M.

Sejatinya, menurut RJ Forbes (1965) dalam bukunya bertajuk Studies in Ancient Technology, campuran yang mengandung sabun telah digunakan di Mesopotamia. “Mereka belum mengenal sabun, tapi beberapa deterjen telah digunakan,” ungkap Forbes.

Menurut dia, dunia klasik belum memiliki deterjen yang lebih baik. Penemuan sabun yang tergolong modern memang baru diciptakan pada masa kejayaan Islam.

Sejarah pembuatan sabun di dunia Islam dicatat secara baik oleh Raja Al-Muzaffar Yusuf ibn Umar ibn Ali ibn Rasul (wafat 1294 M). Dia adalah seorang Raja Yaman yang berasal dari Dinasti Bani Rasul yang kedua.

Raja Al-Muzaffar merupakan seorang penguasa yang senang mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim dalam bidang kedokteran, farmakologi, pertanian, dan teknologi. Raja Al-Muzaffar juga sangat mencintai ilmu pengetahuan.

Pada masa kekuasaannya di abad ke-13 M, ia mendukung dan melindungi para ilmuwan dan seniman untuk berkreasi dan berinovasi. Dalam risalahnya, sang raja mengisahkan bahwa Suriah sangat dikenal sebagai penghasil sabun keras yang biasa digunakan untuk keperluan di toilet.

N Elisseeff dalam artikelnya berjudul Qasr Al-Hayr Al-Sharqi yang dimuat dalam Ensiklopedia Islam volume IV, menyatakan para arkeolog menemukan bukti pembuatan sabun dari abad ke-8 M. Saat itu, kekhalifahan Islam sedang menjadi salah satu penguasa dunia.

Geografer Muslim kelahiran Yerusalem, Al-Maqdisi, dalam risalahnya berjudul Ahsan Al-Taqasim fi Ma’rifat Al-Aqalim, juga telah mengungkapkan kemajuan industri sabun di dunia Islam. Menurut Al-Maqdisi, pada abad ke-10, Kota Nablus (Palestina) sangat masyhur sebagai sentra industri sabun. Sabun buatan Nablus telah diekspor ke berbagai kota Islam.

Menurut Al-Maqdisi, sabun juga telah dibuat di kota-kota lain di kawasan Mediterania, termasuk di Spanyol. Andalusia dikenal sebagai penghasil sabun berbahan minyak zaitun. M Shatzmiller dalam tulisannya bertajuk Al-Muwahhidun, yang tertulis dalam Ensiklopedia Islam terbitan Brill Leiden, juga mengungkapkan betapa pesatnya perkembangan industri sabun di dunia Islam. “Pada 1200 M, di Kota Fez (Maroko) saja terdapat 27 pabrik sabun,” tulis Shatzmiller.




Read : Sabun, Warisan Islam yang Terlupakan (2)
newer post

Jumat, 20 Juli 2012

Mujahidah: Zunairah, Tegar Hadapi Siksaan Abu Jahal

0 komentar
Tidak banyak orang mengenal nama Zunairah. Shahabiyyah yang satu ini datang dari kalangan hamba sahaya. Kulitnya hitam. Sebagai budak, ia bebas diperjualbelikan kapan pun oleh majikannya.

Namun di balik penderitaan, Zunairah adalah sosok yang sangat kuat akan keimanannya. Dia siap mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya agama Allah, Islam.

Ketika memeluk Islam, status Zunairah sebagai budak Abu Jahal. Makanya, dia sembunyi-sembunyi mengikuti dakwah, dan melaksanakan ajaran Rasulullah SAW.

Bisa dibayangkan, bagaimana murkanya Abu Jahal jika mengetahui salah satu budak peliharaannya malah mengikuti ajaran musuhnya (Nabi Muhammad).

Namun, serapat-rapatnya menutup rahasia, akhirnya ketahuan juga. Rupanya anak buah Abu Jahal mengetahui kemualafan Zunairah, lalu melaporkan kepada pemimpinnya.

Benar saja tokoh musyrik itu sangat marah. Dia memerintahkan anak buahnya segera menghadirkan Zunairah. Ketika Zunairah menghadap, tanpa basa-basi Abu Jahal menamparnya. “Benarkah kamu sudah masuk Islam?” teriak Abu Jahal.

Zunairah diam saja. Abu Jahal mengulangi lagi pertanyaannya. Dengan tenang dan mantap dia menjawab, “Benar! Saya hanya percaya pada seruan yang disampaikan Nabi Muhammad, karena itu saya mengikuti ajarannya.”

Sudah bisa diduga, jawaban Zunairah mengundang amarah Abu Jahal. Tidak hanya caki maki, tangannya yang besar kembali dilayangkan ke wajah Zunairah. Abu Jahal juga menendang budaknya hingga tersungkur ke tanah.

Zunairah disiksa dengan keji. Perempuan lemah ini menahan rasa sakit, namun tetap tegar. Baginya penyiksaan demi penyiksaan belum seberapa dibandingkan perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabat selama menjunjung agama Allah.

Abu Jahal mengancam akan menghentikan penyiksaan bila Zunairah mau meninggalkan Islam. “Kembalilah kamu menyembah berhala, kamu akan bahagia,” bujuknya.

Namun, Zunairah tetap yakin dengan pilihannya. Hal ini membuat Abu Jahal semakin marah. Dia memanggil kawan-kawannya, lalu berseru, “Hai kawan-kawan, apakah kalian tidak mau mengikuti seruan Muhammad?”

Serentak kawanan Abu Jahal menjawab, “Tidak!"

“Kalau memang ajaran Muhammad itu benar, pasti mereka mengikuti terlebih dahulu dibandingkan kamu yang hanya seorang budak,” kata Abu Jahal.

Penyiksaan selanjutnya membawa budak belia ini ke tanah lapang. Di lahan luas itu, Abu Jahal kembali menghajar Zunairah yang sudah lemah. Dia memukul, hampir seluruh tubuhnya. Yang fatal ketika pukulan Abu Jahal diarahkan ke mata Zunairah. Dalam sekejap mengalir darah, membuat penglihatan Zunairah menjadi gelap.

Abu Jahal tertawa lepas sambil mengejek, “Matamu menjadi buta bukan karena pukulan tanganku, tetapi akibat kamu masuk Islam. Andaikan kamu kembali menyembah Latta dan Uzza pasti akan sembuh.”

Ocehan Abu Jahal semakin membuat Zunairah yakin akan kebenaran Islam. Ia pun iklas jika matanya menjadi buta, karena membela agama Allah. Namun hatinya sedih dan marah dengan penghinaan Abu Jahal terhadap Rasulullah SAW.

Dengan lantang ia berkata, “Kalian semua pembohong, dan tidak bermoral. Berhala Latta dan Uzza yang kalian sembah tidak akan bisa berbuat apa-apa, apalagi memberi manfaat kepada kalian!”

Ucapan Zunairah membuat Abu Jahal berpikir sejenak. Namun, ia telanjur malu dengan perbuatannya. “Tidak takutkah jika Latta dan Uzza murka kepadamu? Tinggalkanlah segera agama Muhammad yang melecehkan kita!” kata Abu Jahal sambil menarik rambut budaknya.

Zunairah semakin berani menantang tuannya. “Wahai Abu Jahal, sebenarnya nenek moyangmu yang buta. Lebih buta daripada mataku ini. Meskipun mataku buta, Allah tidak akan sulit mengembalikannya menjadi terang, tidak seperti tuhanmu Latta dan Uzza yang tak bisa berbuat apa-apa.”

Penyiksaan terhadap Zunairah berhenti ketika matahari terbenam. Lalu, Zunairah disuruh kembali ke rumah majikannya.

Dalam keadaan gelap, budak belian ini tiada henti berdoa memohon pertolongan Allah SWT. Kekuasaan Allah pun datang; Dia mengabulkan keinginan hamba-Nya.

Sungguh ajaib, ketika Zunairah membuka matanya, kembali terang. Dia bisa melihat seperti sediakala. Luka parah di sekujur tubuhnya pun langsung sembuh. Zunairah tiada henti bersyukur kepada Allah. Budak hitam ini semakin yakin kepada ajaran Rasulullah, walaupun tuannya suatu saat bakal menyiksanya lagi.

Benar saja, pagi hari Abu Jahal kembali memanggil Zunairah. Dia berharap penyiksaan kemarin membuat budaknya kapok sehingga mau kembali menyembah nenek moyang. Namun, Abu Jahal kaget ketika melihat wajah budaknya sangat mulus, berseri-seri. Mata yang buta kembali bisa melihat, dan tanpa ada goresan sedikit pun bekas penyiksaan.

“Zunairah, kamu apakan wajahmu? Kemarin mata kamu buta, tapi sekarang sudah bisa melihat. Pasti ulah sihir dari Muhammad, karena dia tukang sihir,” kata Abu Jahal penasaran.

Zunairah meyakinkan Abu Jahal bahwa Allah SWT yang telah melindungi dan menyembuhkan semua luka-luka, serta menghindarkannya dari kebutaan. “Hanya Allah yang bisa membuat manusia sehat, hidup, mati dan masih banyak lagi. Sedangkan Muhammad itu hanya manusia biasa hanya utusan Allah,” jawab Zunairah.

Ketika Abu Jahal akan menyiksa kembali Zunairah di lapangan, datanglah Abu Bakar. Sahabat Rasulullah itu meminta kepada Abu Jahal membebaskan tawanannya. Abu Bakar yang akan menebus harga budak belian tersebut. Abu Jahal lalu menyerahkan Zunairah kepada Abu Bakar, yang kemudian membebaskannya. 
newer post

Mujahidah: Fatimah binti Abdul Malik, Istri Khalifah yang Bersahaja

0 komentar
Beruntung Umar bin Abdul Aziz Al-Umawi menikahi Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, sosok perempuan yang nyaris sempurna. Dia cantik, cerdas, keturunan terpandang, kaya raya, serta taat beribadah.

Pasangan ini dikaruniai seorang putra yang diberi nama Abdul Malik bin Umar. Sebagai suami yang bertanggung jawab, Umar berusaha memenuhi keinginan istri dan anaknya. Namun, Fatimah telah memiliki harta dan perhiasan yang melimpah pemberian dari ayahnya. 

Kekayaan keluarga ini menjadi ‘masalah’ ketika Umar yang tidak lain cicit Khalifah Umar bin Khathab ini didaulat sebagai pejabat pemerintah. Dia menyadari sebagai khalifah memiliki beban yang sangat berat, terutama godaan harta.

Karenanya sebelum memegang amanah, dia mengajak Fatimah mengurangi beban hidupnya dengan cara menyerahkan semua harta, berikut perhiasan yang dimiliki Fatimah ke Baitul Mal.

Selanjutnya, Umar mengajukan dua pilihan kepada istrinya. Jika Fatimah setuju dengan usulan tersebut, keluarga ini bisa melanjutkan biduk rumah tangga. Sebaliknya, kata Umar, “Jika kamu tidak setuju dengan usulan ini, maka kita tidak akan pernah lagi bersama dalam satu rumah.”

Tanpa berpikir panjang, Fatimah menyetujui usulan suaminya. Dia menyadari harta yang melimpah hanya menjadi beban bagi suaminya. Lalu dia mengumpulkan harta, dan perhiasannya untuk diserahkan ke Baitul Mal.

Dia ikhlas hidup bersama suaminya sebagai pejabat, namun tidak memiliki harta apa pun. Padahal, saat itu Umar sebagai khalifah besar memimpin Bani Ummayah yang wilayah kekuasaannya sangat luas.

Suami Fatimah ini dibaiat sebagai khalifah setelah shalat Jumat tahun 717 M. Menurut riwayat, kebijakan-kebijakan Umar selalu berpihak kepada masyarakat, dan berhasil memulihkan keadaan negara seperti masa empat khalifah Khulafaur Rasyidin.

Selama menjadi khalifah, gaji Umar sangat minim, hanya dua dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Sebagai istri, Fatimah tidak pernah protes, apalagi menuntut lebih penghasilan suaminya. Dia ikhlas dan selalu mendukung suaminya.

Kesederhanaan dan kebijakan Umar membuat banyak kalangan menyematkan ‘gelar’ sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.

Sayangnya, kepemimpinan khalifah yang saleh, adil dan sederhana ini tidak berlangsung lama. Kurang dari tiga tahun memimpin Bani Umayah, sang khalifah meninggal dunia dibunuh melalui racun yang diberikan pembantunya.

Ketika Umar bin Abdul Azis meninggal, ia tidak meninggalkan harta apa pun untuk Fatimah dan anaknya.

Sepeninggal Umar, estafet Dinasti Ummayah dilanjutkan oleh saudara Fatimah bernama Yazid bin Abdul Malik.

Saat itu, Yazid menemui Fatimah untuk mengembalikan harta-harta yang disimpan di Baitul Mal. “Umar telah zalim pada hartamu, sekarang aku kembalikan kepadamu. Ambillah!” kata Yazid kepada adiknya.

Bendahara Baitul Mal pun pernah menemui istri Umar bin Abdul Aziz, menjelaskan bahwa perhiasan dan harta milik Fatimah masih utuh tersimpan. “Kami menganggap perhiasan-perhiasan itu sebagai barang titipan yang harus dijaga, dan akan kami kembalikan jika tuan membutuhkan.”

Bendahara Baitul Mal itu akan segera membawa harta perhiasan milik Fatimah, jika pemiliknya ingin menerima kembali hartanya. Nilai perhiasaan milik Fatimah saat itu mencapai jutaan dirham. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran-tawaran itu?

Apalagi suaminya meninggal tanpa warisan yang mencukupi. Bukankah harta yang dititipkan ke Baitul Mal adalah perhiasan milik Fatimah dari ayahnya, maupun pemberian suaminya.

Namun Fatimah menolak semua tawaran itu. “Demi Allah, aku tidak akan mengambilnya kembali. Karena aku patuh kepada suami untuk selamanya. Bukan ketika dia masih hidup aku patuh, lalu setelah meninggal berkhianat,” ujar Fatimah.

Yazid takjub dengan sikap saudara perempuannya itu. Lalu dia mengambil kembali harta-harta Fatimah dan membagikan kepada orang-orang yang berhak.

Sikap Fatimah yang kaya beramal ini menempatkan namanya sebagai perempuan salehah yang taat kepada suami.

Dia juga dicatat sebagai istri pemimpin yang sederhana, dan selalu mendahulukan kepentingan umat.

Andaikan istri para pemimpin dan pejabat memiliki sifat sederhana seperti Fatimah, niscaya perilaku korup dan hidup bermewahan dapat diminimalkan.

Masa muda Fatimah penuh dengan kesenangan. Dia menyukai sastra, dan memiliki wawasan sangat luas. Kekayaannya melimpah, karena dia putri seorang khalifah besar di masa Bani Ummayah.

Saat itu, kekuasaan yang dipegang ayahnya sangat luas meliputi negeri Syam, Irak, Yaman, Iran, sampai ke arah timur. Kekuasaannya meluas hingga ke Mesir, Sudan, Aljazair, Tunisia hingga Spanyol.

Fatimah memiliki empat saudara pria yang semuanya menjadi khalifah Islam, yaitu Khalifah Al-Walid, Khalifah Sulaiman, Khalifah Yazid, dan Khalifah Hisyam.

Ketika menikah dengan Umar bin Abdul Aziz, Fatimah dibekali ayahnya banyak perhiasan. Di antaranya anting-anting yang diberi nama anting Mariah sebagai sumber inspirasi para penyair dalam menggubah lagu di zaman itu.

Ketika menjadi istri khalifah, sebenarnya kemewahan dan harta yang dimiliki Fatimah bisa lebih melimpah lagi. Namun, ia tidak mau memanfaatkan jabatan suaminya. Dia memilih hidup sederhana daripada menjadi budak nafsu kemewahan dunia.

Dia sadar, harta dan kekayaan bagaikan air garam. Semakin diminum, akan semakin haus, merasa kurang dan kurang terus. Umar pun bangga terhadap sikap istrinya ini. Jangankan menyuruh suaminya korupsi, uang belanja sehari-hari yang diberikan hanya beberapa dirham selalu dibilang cukup.

Sikap sederhana dan keikhlasan Fatimah membuat Umar tenang bekerja memimpin pemerintahan. Fatimah yang cerdas selalu mendukung program kerja suaminya yang selalu memikirkan kesejahteraan umat.

Maksud Umar ketika menyimpan harta dan perhiasan istrinya di Baitul Mal tidak lain untuk kepentingan rakyat. Jika kondisi mendesak, harta-harta tersebut bisa dijual, lalu uangnya digunakan untuk keperluan masyarakat miskin.


Source: republika.co.id
newer post

Utbah bin Ghazwan, Menyerahkan Dunia Demi Akhirat

1 komentar
Utbah bin Ghazwan berperawakan tinggi dengan muka bercahaya dan rendah hati, termasuk angkatan pertama masuk Islam, berada di antara Muhajirin pertama yang hijrah ke Habasyah dan Madinah.

Dia termasuk pemanah pilihan yang jumlahnya tidak banyak, yang telah berjasa besar di jalan Allah.

Ia adalah orang terakhir dari kelompok tujuh perintis yang berbaiat dengan menjabat tangan kanan Rasulullah dengan tangan kanan mereka, bersedia menghadapi orang-orang Quraisy yang sedang memegang kekuasaan yang gemar berbuat zalim dan aniaya.

Sejak hari pertama dimulainya dakwah dengan penuh penderitaan dan kesulitan, Utbah dan kawan-kawan telah memegang teguh suatu prinsip hidup yang mulia, yang kemudian menjadi obat dan makanan bagi hati nurani manusia dan telah berkembang luas pada generasi selanjutnya.

Utbah ada di antara sahabat yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk Hijrah ke Habsy, tetapi ia begitu rindu kepada Rasulullah sehingga ia tidak betah untuk menetap disana, kembali ia menjelajah daratan dan lautan untuk kembali ke Makkah untuk hidup di sisi Rasulullah hingga saatnya hijrah ke Madinah.

Semenjak orang-orang Quraisy melakukan gangguan dan melancarkan peperangan, Utbah selalu membawa panah dan tombaknya. Ia memang sangat ahli melemparkan tombak dan memanah dengan ketepatan yang luar biasa. Setelah Rasulullah wafat, Utbah tidak meletakkan senjatanya, ia tetap berkelana dalam perang di jalan Allah.

Amirul Mukminin Umar bin Khathab RA mengirim Utbah ke Ubullah untuk membebaskan negeri itu dari pendudukan tentara Persia yang hendak menjadikannya sebagai gerbang untuk menghancurkan kekuatan Islam yang sedang menyebar ke wilayah-wilayah jajahan Persia.

Berkatalah Umar ketika hendak melepaskan pasukan Utbah, “Berjalanlah engkau bersama pasukanmu, hingga batas terjauh dari negeri Arab dan batas terdekat negeri Persia! Pergilah dengan restu Allah dan berkahnya. Serulah ke jalan Allah siapa yang mau dan bersedia. Dan siapa yang menolak hendaklah ia membayar pajak. Dan bagi setiap penantang, maka pedang bagiannya, tanpa pandang bulu! Tabahlah menghadapi musuh serta takwalah kepada Allah Tuhanmu!”

Ketika pasukannya yang kecil telah berhadapan dengan pasukan balatentara Persia yang besar, Utbah berseru, “Allahu Akbar, shadaqa wa’dah. Allah Mahabesar Dia menepati janji-Nya.”

Ternyata benarlah janji Allah, tak lama setelah terjadi pertempuran, Ubullah dapat ditundukkan.

Di tempat itu Utbah membangun Kota Basrah dan membangun sebuah masjid besar di dalamnya. Kemudian dia bermaksud untuk kembali ke Madinah, tetapi Amirul Mukminin memerintahkannya untuk tetap tinggal di sana, memimpin pemerintahan di Basrah.

Utbah pun menaati perintah Amirul Muminin Umar RA, membimbing rakyat melaksanakan shalat, mengajarkan masalah agama, menegakkan hukum dengan adil, dan memberikan contoh tentang kezuhudan, wara’ dan kesederhanaan.

Dengan tekun dikikisnya pola hidup mewah dan berlebihan sehingga menjengkelkan mereka yang selalu memperturutkan hawa nafsu.

Pernah dalam sebuah pidato Utbah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah SAW sebagai salah seorang kelompok tujuh, yang tak punya makanan kecuali daun-daun kayu, sehingga bagian mulut kami pecah-pecah dan luka-luka. Di suatu hari aku beroleh rezeki sehelai baju burdah, lalu kubelah dua, yang sebelah kuberikan kepada Sa’ad bin Malik dan sebelah lagi kupakai untuk diriku.”

Utbah sangat takut terhadap dunia yang akan merusak agamanya dan kaum Muslimin, sehingga dia selalu mengajak mereka untuk hidup sederhana dan zuhud terhadap dunia.

Namun, banyak yang hendak memengaruhinya untuk bersikap sebagaimana penguasa yang penduduknya menghargai tanda-tanda lahiriah dan gemerlap kemewahan. Tetapi Utbah menegaskan kepada mereka, “Aku berlindung kepada Allah dari sanjungan orang terhadap diriku karena kemewahan dunia, tetapi kecil pada sisi Allah!”

Dan tatkala dilihatnya rasa keberatan pada wajah-wajah orang banyak karena sikap kerasnya membawa mereka kepada hidup sederhana, berkatalah Utbah kepada mereka, “Besok atau lusa akan kalian lihat kepemimpinan orang lain yang menggantikanku.”

Ketika musim haji tiba, Utbah menunaikan ibadah haji, sementara pemerintahan Basrah diwakilkan kepada salah seorang temannya.

Setelah melaksanakan ibadah, dia menghadap Amirul Mukminin di Madinah untuk mengundurkan diri dari pemerintahan.

Tetapi Amirul Mukminin menolak dengan mengucapkan kalimat yang sering diucapkan kepada orang-orang zuhud seperti Utbah, “Apakah kalian hendak menaruh amanat di atas pundakku, kemudian kalian tinggalkan aku memikulnya seorang diri? Tidak. Demi Allah, tidak kuizinkan selama-lamanya!”

Oleh karena itu, tidak ada pilihan bagi Utbah kecuali taat dan patuh. Dan ketika hendak kembali ke Basrah, sebelum naik kendaraannya, ia menghadap kearah kiblat, lalu mengangkat kedua telapak tangannya yang lemah lungai ke langit.

Utbah berdoa dan memohon kepada Allah agar ia tidak dikembalikan ke Basrah, dan tidak pula menjadi pemimpin pemerintahan selama-lamanya.

Allah memperkenankan doanya. Dalam perjalanannya menuju Basrah, Allah memanggil Utbah kepangkuan-Nya dengan menyediakan kesempurnaan nikmat dan kesempurnaan suka cita karena pengorbanan dan baktinya, kezuhudan dan kesahajaannya.


Source: republika.co.id
newer post

Inilah Arsitektur Masjid dari Masa ke Masa

0 komentar
Ribuat umat moslem akan menunaikan sholat jumat di masjid Nabawi - Madiah - Arab Saudi
Arsitektur merupakan seni paling awal yang selalu menjadi representasi utama seni sebuah bangunan. Seni arsitektur yang nilainya lebih tinggi dari bangunan biasa dapat dilihat pada tempat ibadah. Dalam Islam, seni arsitektur menemukan ekspresinya yang tertinggi ketika ia diaplikasikan dalam arsitektur masjid.

Masjid, selain sebagai bangunan sentral dalam Islam untuk beribadah, juga berperan sebagai sebuah ruang pertemuan besar, forum politik, serta ruang pendidikan. Kebutuhan untuk shalat berjamaah secara fisik telah terpenuhi dengan tersedianya masjid lengkap dengan tempat beribadah dan berandanya yang beratap, tempat wudhu, mimbar, dan mihrab. Sedangkan, kebutuhan politis terpenuhi dengan adanya gambar dan hiasan yang indah.

Arsitektur masjid menjadi refleksi hubungan antarras dan hubungan internasional dalam sejarah perkembangan peradaban Islam ketika itu. Dapat dikatakan, arsitektur masjid merupakan contoh yang jelas untuk melukiskan perpaduan budaya antara Islam dan daerah sekitar tempat masjid itu berdiri. Selain dipengaruhi oleh budaya daerah setempat, seni arsitektur masjid juga dipengaruhi oleh bahan baku yang tersedia saat itu di wilayah tersebut, yaitu batu, batu bata, ataupun tanah liat.

Phillip K Hitty dalam bukunya, History of the Arabs, mengatakan, Masjid Nabawi di Madinah merupakan prototipe umum arsitektur mas jid-masjid besar pada abad pertama Islam. Arsitektur masjid ini se derhana, hanya terdiri dari pelataran terbuka yang dikelilingi oleh dindingdinding yang terbuat dari tanah liat yang dikeringkan. Untuk menghalangi sinar matahari, ditambahkan atap untuk menutup seluruh ruang yang terbuka. Atap tersebut terbuat dari batang pohon kurma yang juga dimanfaatkan sebagai tiang pe nyangga.

Tak hanya itu, batang kurma juga diletakkan di atas tanah yang kemudian digunakan Nabi Muhammad sebagai mimbar. Pada awalnya, mimbar merupakan tempat duduk yang ditinggikan atau singgasana yang digunakan oleh penguasa dan tidak terkait dengan peribadatan. Namun, dalam perkembangan arsitektur Is lam, khususnya masjid, mimbar dijadikan sebagai tempat untuk me nyampaikan khutbah dan hal ter sebut dimulai dari Masjid Nabawi.

Tidak lama menggunakan batang pohon kurma, Nabi Muhammad kemudian mengganti mimbar dengan sebuah podium dari kayu cedar bertangga tiga. Dari bangunan Masjid Nabawi yang sederhana, gambaran umum arsitektur sebuah masjid terdiri dari tiga hal, yaitu beranda atau pelataran, atap, dan mimbar.
Masjid di Suriah

Ketika penyebaran Islam menuju Asia Barat dan Afrika Utara dimulai, bangunan yang memiliki seni arsitektur yang tinggi mulai dikuasai orang-orang Muslim. Penguasaan tersebut diikuti dengan penguasaan terhadap pengetahuan dan keterampilan teknis bangsa yang ditaklukkan. Beberapa masjid utama di Aleppo (Turki), Homs (Suriah), dan Beirut (Lebanon) pada mulanya adalah bangunan gereja yang diubah menjadi masjid.

Di Madain (Irak), sahabat Sa’ad ibn Abi Waqqash menggunakan iwan atau eyvan milik raja Persia, yaitu sebuah ruangan dengan pilar yang membentuk busur sebagai tempat shalat. Di Damaskus, Katedral Santo Yahya (St John) peninggalan Romawi Timur (Bizantium) dialihfungsikan oleh Sultan al-Walid I dari Dinasti Umayyah menjadi sebuah masjid yang diberi nama Masjid Umayyah pada 705 M. Begitu pula di Homs, bangunan serupa juga dijadikan sebagai masjid.

Tentang berapa banyak jumlah bangunan Kristen yang dijadikan masjid oleh al-Walid tidak ada data yang pasti.

Di Suriah, arsitektur masjid dipengaruhi oleh gaya Suriah-Bizantium Kristen yang telah ada sebelumnya. Di Mesopotamia (Irak) dan Persia (Iran), arsitektur masjid dipengaruhi oleh gaya Kristen Nestorian dan Dinasti Sasaniyah yang merupakan akar tradisi atau hasil karya peradaban sebelumnya. Sedangkan di Mesir, arsi tek tur masjid diwarnai oleh gaya bagunan orang-orang Kristen Koptik.

Dapat disimpulkan, terdapat empat mazhab seni arsitektur masjid. Di antaranya Mazhab Suriah-Mesir yang mengikuti gaya Yunani Romawi, Mazhab Irak-Persia yang berakar pada Sasaniyah, Kaldea, dan Suriah kuno, Mazhab Spanyol dan Afrika Utara yang memperlihatkan pengaruh Gotik Barat dan Kristen setempat yang sering disebut mazhab Moor atau Maghribi (Maroko), dan mazhab India-Cina yang memperlihatkan gaya Hindu dan Buddha seperti beberapa masjid di Cina yang mirip dengan kuil.

Masjid Agung Umayyad Damaskus
 Masjid pertama yang didirikan di daerah penaklukan Islam adalah masjid di Bashrah yang dibangun oleh Utbah ibn Ghazwan pada 637- 638 M. Selain membangun masjid, Utbah menjadikan kota di Irak tersebut sebagai markas pasukan Muslim pada musim dingin. Masjid tersebut dibangun di sebuah lokasi terbuka yang dikelilingi rerumputan dengan menggunakan tanah liat dan batu bata yang dikeringkan oleh sinar matahari dan anyaman rumput sebagai atap.

Pada 638-639 M, Muawiyyah merenovasi masjid tersebut dengan menambahkan sebuah bangunan berupa beranda dengan gaya arsitektur Sasaniyah dengan ciri utama kubah melengkung atau lonjong, lorong-lorong berbentuk setengah lingkaran, menara spiral, langit-langit utama yang melengkung, keramik dinding berglasir, dan atap berlapis logam.

Sedangkan di Afrika, masjid pertama yang dibangun oleh sahabat Amr Ibn al-Ash di Fustat, Mesir, pada 642 M mempunyai sebuah mimbar yang dibuat dan dihadiahkan oleh Raja Nubia (Sudan) yang beragama Kristen. Dalam bentuk aslinya, masjid yang dibangun Amr tersebut sama seperti dengan masjid lainnya, yaitu hanya terdiri atas bangunan segi empat sederhana tanpa mihrab dan menara.

Masjid lainnya di Mesir adalah masjid yang dibangun oleh Uqbah bin Nafi’ di Kairawan pada 670 hingga 675 M. Untuk pertama kalinya, hunian penduduk dibangun di sekitar masjid. Selain pelataran, atap, dan mimbar, terdapat sebuah bangunan yang belakangan ditambahkan dalam masjid, yaitu mihrab, maqshurah, dan menara.

Mihrab adalah bagian masjid yang menjadi penunjuk arah shalat menjadi bagian utama dalam seni arsitektur masjid. Mihrab dipandang sebagai standar umum untuk menentukan kualitas seni lukis Islam yang terus mengalami perkembangan. Mihrab pada masjid Umayyah untuk pertama kalinya berbentuk setengah lingkaran dan bentuk pintu seperti tapal kuda.

Sedangkan, maqshurah adalah sebuah bangunan khusus disamping bangunan umum masjid didirikan pada zaman Muawiyyah selaku pen diri Dinasti Umayyah. Bangunan tersebut merupakan sebuah ruangan berpagar di dalam masjid sebagai tempat khusus untuk khalifah. Maqshurah biasanya digunakan para khalifah untuk mengasingkan diri dan atau untuk ber musyawarah.

Ada alasan khusus mengapa ruangan itu dibangun, yaitu untuk melindungi Muawiyyah dari usaha pembunuhan oleh kelompok Khawarij. Kelompok ekstrem ini sebelumnya berhasil membunuh khalifah Ali Ibn Abi Thalib.

Selain ragam bangunan yang berkembang, arsitektur masjid juga diwarnai dengan hiasan yang indah. Tiga ruang utama dan sayap penyangga kubah Masjid Umayyah dihiasi mozaik hasil karya perajin Persia, India, dan seniman Yunani. Penggunaan marmer dan mozaik semakin memperkaya hiasan dinding masjid.


Source: republika.co.id
newer post

Pelopor Revolusi Hijau Abad Pertengahan

0 komentar
Era keemasan Islam yang berlangsung dari abad ke-8 M hingga 13 M begitu banyak meninggalkan warisan bagi peradaban manusia.

Dalam masa kejayaannya, umat Islam ternyata telah berhasil melakukan transformasi fundamental di sektor pertanian yang kini dikenal sebagai Revolusi Hijau Abad Pertengahan atau Revolusi Pertanian Muslim.

Kala itu, para saudagar Muslim di sepanjang 'dunia tua' yakni Eropa, Asia, dan Afrika sebelum abad ke-15 M , mampu membangun perekonomian global.

Revolusi hijau telah memungkinkan beragam tanaman berikut teknik bercocok tanamnya menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam. Pada era itu, berbagai teknik serta penyebaran berbagai hasil pertanian dari luar dunia Islam dapat dengan mudah diadopsi.

Umat Islam pada abad pertengahan juga telah menjadi pelaku utama globalisasi hasil pertanian. Ketika itu, tanaman asal Afrika seperti gandum, buah jeruk khas negeri tirai bambu Cina, serta sejumlah tanaman asli dari India seperti buah mangga, beras, kapas, serta gula tebu ternyata dikembangkan dan didistribusikan melalui tanah-tanah yang dikuasai Islam.

Lalu bagaimana globalisasi dan revolusi hijau itu berawal? Cikal bakal globalisasi sudah mulai terbentuk ketika Dinasti Islam menjadi pusat peradaban dunia dan Islam berada dalam era keemasan.

Ketika itu, pengetahuan, perdagangan dan perekonomian dari berbagai wilayah yang awalnya terisolasi mulai menjalin kontak dengan para penjelajah, pelaut, sarjana, saudagar, serta wisatawan Muslim.

Beberapa kalangan menjuluki periode itu sebagai Pax Islamica atau 'Era Penemuan Afro-Asiatic'. Para saudagar serta penjelajah Muslim yang mengarungi 'dunia tua' mulai membangun cikal bakal perekonomian global.

Jaringan perdagangan pun berkembang luas di Asia, Afrika, serta Eropa. Jalur perdagangan kala itu sudah menyebar dari Samudera Atlantik dan Laut Mediterania di bagian Barat, menuju Samudera India dan Laut Cina di bagian Timur.

Berkembangnya perekonomian global pada abad pertengahan didukung oleh berdirinya Dinasti Islam, seperti Khalifah Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, serta Fatimiyah. Sebab, pada masa dinasti itu berkuasa, pemerintahan Islam menjadi kekuatan ekonomi terkemuka dan terbesar dari abad ke-7 M hingga abad ke-15 M.

Guru besar sejarah abad pertengahan, Prof Thomas F Glick, menuturkan, revolusi pertanian Muslim ditandai dengan munculnya varietas tanaman-tanaman yang baru serta dibangunnya jaringan irigasi yang luas dan intensif.

''Pada masa itu, petani Muslim bisa menanam tanaman sebanyak tiga sampai empat kali dalam setahun di atas lahan yang awalnya hanya bisa ditanami sekali setahun,'' ungkap Glick.

Seiring berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di pusat-pusat pemerintahan Islam, para sarjana dan petani Muslim mulai mengembangkan inovasi di bidang pertanian. Seperti diungkapkan Glick, umat Islam pada era itu sudah mengembangkan sistem rotasi tanam dengan cara modern.

Dengan mengetahui karakteristik tanaman serta tanah, para petani pada saat itu bisa memanen hasil pertaniannya lebih banyak dan lebih sering.

Dr Zohor Idrisi dalam tulisannya yang bertajuk The Muslim Agricultural Revolution mengungkapkan, para saudagar yang menjelajah dunia selalu pulang membawa bibit tanaman. ''Kebanyakan tanaman yang bernilai guna, seperti tebu, pisang, dan kapas membutuhkan air,'' papar Idrisi.

Untuk menanam bibit tanaman yang dibawa dari berbagai wilayah itu, para petani Islam ketika itu membangun sistem irigasi buatan yang luas. Tak heran, jika irigasi buatan lebih dikenal di dunia Islam, ketimbang di Eropa.

Apalagi, pada era itu pemerintahan Islam sangat mendukung pembangunan di sektor pertanian. Maka, jaringan dan saluran irigasi pun dibangun untuk mengairi kebun dan sawah. Pembangunan pertanian yang dilakukan umat Islam dikembangkan berdasarkan pendekatan ilmiah.

Hal itu terlihat dari tiga elemen utama penunjang pertanian yakni; sistem pola tanam yang mutakhir, teknik pembangunan irigasi yang tinggi, serta munculnya beragam varietas tanaman yang disertai dengan katalog berdasarkan musim, tipe tanah, dan jumlah air yang dibutuhkan.

Para sarjana pertanian Islam juga mampu menyusun sejumlah ensiklopedia pertanian dan ilmu tumbuh-tumbuhan atau botani.

Salah seorang sarjana pertanian Muslim yang banyak memperkenalkan dan menemukan tanaman baru adalah Ibnu Al-Baitar.

Pada awal abad ke-9 M, sistem pertanian modern telah menjadi sentra kehidupan ekonomi dan organisasi dalam dinasti Islam. Kekhalifahan Islam menggantikan peran Roma sebagai eksportir produk pertanian.

Selama revolusi pertanian Muslim, pengolahan gula mulai diproduksi secara besar-besaran. Penggilingan dan perkebunan gula dalam skala besar bermunculan.

Sejumlah kota di 'Timur Dekat' seperti Anatolia, Yordania, Suriah and Lebanon, Georgia, Armenia, Mesopotamia, Afrika Utara, dan Spanyol didukung dengan sistem pertanian yang ditopang irigasi yang luas berbasis pengetahuan hidrolik dan prinsip-prinsip hidrostatis.

Sistem irigasi juga digerakkan dengan sistem yang canggih seperti noria, pemutar air, dam, serta waduk. Pada era keemasan Islam, penguasa juga memberikan insentif bagi para pemilik lahan serta para petani penggarapnya.

Dinasti Islam pada masa itu mengakui kepemilikan pribadi dan hasil panen dibagi dengan para penggarapnya. Sementara Eropa masih menerapkan sistem budak di pertanian dan perkebunan.

Pada zaman kejayaan Islam berlangsung transformasi sosial melalui perubahan kepemilikan lahan. Setiap orang, perempuan atau laki-laki dari berbagai etnis serta agama memiliki hak untuk membeli, menjual, menggadaikan, serta menyewakan lahan untuk pertanian atau keperluan lainnya.

Setiap kesepakatan dalam pertanian, industri, perdagangan dan ketenagakerjaan harus disertai dengan kontrak. Kedua belah pihak harus memegang kontrak itu. Demikianlah, Islam menjadi pelopor revolusi hijau dan globalisasi hasil pertanian di abad pertengahan.


Source: republika.co.id
newer post
older post