Salah satu sudut kota tua Damaskus, Suriah |
Ketika itu, sederet lembaga amal berdiri untuk meringankan beban bagi orang-orang yang tak berpunya dan membutuhkan bantuan. “Semangat sosial masyarakat Damaskus begitu tinggi,'' kisah Ibnu Battuta dalam catatan perjalanannya.
Saking banyaknya lembaga amal yang berdiri di kota itu, sampai-sampai Ibnu Battuta merasa sulit untuk menghitungnya. Saat itu, orang yang tak mampu menunaikan ibadah haji ke Makkah akan dibiayai lembaga amal yang ada.
Masyarakat Damaskus pun berlomba-lomba mewakafkan tanahnya untuk sekolah, rumah sakit serta masjid. Damaskus tak hanya dikenal sejarah sebagai kota yang dermawan karena kemakmurannya, namun juga pemurah karena sifatnya.
Bianquis mencatat, begitu terbukanya Damaskus bagi para pengungsi asal Andalusia yang terusir dari negeri Spanyol, ketika Kristen menguasai tanah itu pada abad ke 12 M.
Seabad kemudian, Damaskus menjadi tempat berlabuh warga Iran dan Irak ketika bangsa Mongol menghancurkan tanah kelahiran mereka. Pada abad ke-16, lagi-lagi Damaskus menjadi tempat berlindung pengungsi dari Spanyol, baik Muslim maupun Yahudi.
Tiga abad berselang, kota ini kembali menjadi tanah harapan bagi warga Kaukasus, Kurdi, dan Turki dari ancaman tentara Rusia.
Selain dikenal sebagai kota yang pemurah dan dermawan, Damaskus juga kesohor sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa kekuasaan Khalifah Nur A-Din Zanki berkuasa, di Damaskus dibangun sekolah. Khalifah juga mewariskan begitu banyak buku untuk perpustakaan yang ada di kota itu.
Masjid Umayyah di Kota Damaskus, Suriah.
Catatan tentang pesatnya perkembangan ilmu di Damaskus juga digambarkan seorang penjelajah Muslim lainnya, Ibnu Jubair.
Saat bertandang ke kota itu pada tahun 1184, dia menyaksikan begitu banyak fasilitas bagi pelajar asing dan pengunjung di Masjid Umayyah. Tak heran, bila Ibnu Jubair mendorong para pelajar dan mahasiswa dari Spanyol untuk pergi menimba ilmu ke Timur.
“Setiap orang di Barat yang ingin meraih sukses datang ke kota ini (Damaskus) untuk belajar. Sebab, fasilitas dan bantuan di sini begitu melimpah. Para pelajar yang menimba ilmu di sini tak pernah khawatir kekurangan makanan dan tempat bernaung,” papar Ibnu Jubair dalam catatan perjalanannya.
Pelopor universitas modern pertama di Damaskus dibangun penguasa Seljuk, Nizam Al-Mulk. Sepeninggal Nizam, bermunculan madrasah atau universitas di seantero kota itu pada abad pertengahan.
Menurut Tawtah, ketika itu di Damaskus berdiri 73 perguruan tinggi, 41 universitas di Yerusalem, 40 universitas di Baghdad, 14 perguruan tinggi di Aleppo, 13 universitas di Tripoli, serta 74 perguruan tinggi di Kairo.
Namun, ada pula yang menyebutkan jumlah perguruan tinggi di Damaskus pada era kejayaan Islam mencapai 150 buah. Menurut Ibnu Jubair, madrasah yang paling favorit serta terbaik di dunia saat itu adalah Al-Nuriyyah Al-Kubra berada di Damaskus. Perguruan tinggi itu didirikan Khalifah Nur Al-Din.
Selain itu, Ibnu Jubair juga mencatat di kota itu berdiri sebuah rumah sakit tua dan sebuah rumah sakit baru. Rumah sakit yang dibangun umat Islam pertama adalah RS Al-Nuri yang dibangun pada tahun 706 M oleh Khalifah Al-Walid Ibn Abd Al-Malik dari Dinasti Ummayah.
RS itu dilengkapi dengan peralatan paling modern dan tenaga dokter serta perawat yang profesional. Pada era itu, Damaskus tumbuh pesat sebagai salah kota penting yang dikuasai umat Islam.
Salah satu sudut Kota Damaskus, Suriah. |
Secara geografis, Damaskus terletak di sebelah Barat Daya Suriah. Ibu kota Republik Arab Suriah itu berada di oasis suatu dataran separuh gersang.
Damaskus juga berbatasan dengan Pegunungan Anti-Lebanon di sebelah Timur. Di sebelah Tenggara, kota ini berdekatan dengan Beirut, Lebanon. Damaskus juga dilalui Sungai Barada yang telah mengalirkan air selama ribuan tahun.
Kota itu termasuk salah satu kota tertua yang dihuni manusia. Damaskus dibangun sekitar 3.000 tahun SM. Berganti zaman, berganti pula penguasa Damaskus. Secara bergantian, kerjaan Assyria, Yunani, Romawi dan Bizantium menguasai wilayah itu.
Islam mulai menginjakkan pengaruhnya di kota itu pada era kekuasaan Khalifah Umar bin Khathab. Panglima perang seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Yazid bin Abu Sufyan berhasil menunaikan tugasnya untuk menaklukan Suriah dan Palestina dari kekuasaan Romawi.
Secara resmi, Damaskus berada dalam kekuasaan Islam pada September 635 M. Proses Islamisasi berlangsung damai dan lancar. Penguasa Islam tetap menghormati kebebasan beragama.
Sejak itulah, Suriah menjadi salah satu provinsi pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang berpusat di Madinah. Gubernur pertama Suriah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Pada era kepemimpinannya, Usman bin Affan kerap berkunjung ke provinsi itu.
Ketika konstelasi politik di dunia Islam berubah, pada tahun 661 M Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan Dinasti Umayyah dan mendapuk Damaskus sebagai ibukota pemerintahannya.
Salah satu agenda Dinasti Umayyah adalah perluasan wilayah penyebaran Islam hingga ke Afrika Utara, Spanyol, Asia Tengah, Persia, serta India. Sehingga wilayah kekuasaan Islam pada abad pertengahan semakin meluas. Sekitar tahun 750 M, Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah dan ibukota pemerintahan berpindah ke Baghdad.
Ketika kekuasaan Abbasiyah memudar, pada 875 M penguasa Mesir, Ahmad ibnu Tulun, mengambil alih kota itu. Pada 945 M, Dinasti Hamdanids mengambil alih Damaskus. Sekitar tahun 968 M dan 971 kota itu dikuasai Qaramita. Setelah itu, Dinasti Fatimiyyah di Kairo menguasai Damaskus. Sejak abad ke-11, Dinasti Seljuk menguasai kota itu.
Pada 1260 M bangsa Mongol menaklukkan Damaskus. Tiga abad berikutnya, Turki Usmani berkuasa di kota itu. Pada 1946 Suriah memproklamirkan kemerdekaannya. Hingga kini, Damaskus tetap menjadi ibu kotanya.
Source: republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar