Mereka bukan Muslim yang bermukim di kota Roma, ibukota Italia.
Roma adalah sesosok etnis minoritas di daratan Eropa yang selama ini
dikenal dengan nama Gypsi. Mereka tersebar di hampir seluruh negara
Eropa, Amerika, dan Asia Tengah.
Jika Anda seorang Muslim Roma dan tinggal di salah satu kota di dekat
Athena, ibukota Yunani, atau di kota-kota lain, jangan berharap dapat
mendirikan masjid atau menunaikan shalat Jumat berjamaah. Kalau pun
ingin melakukannya Anda harus menempuh jarak sekian ratus kilometer
untuk sampai ke bagian barat propinsi Thrace, dekat perbatasan
Yunani-Bulgaria. Hanya di tempat ini, terutama di kota kecil Xanthi,
atau Xantini, Komotini, dan Dhidhimotikhon, Anda bisa melakukan kegiatan
ritual Islam secara bebas. Masjid banyak berdiri di
pemukiman-pemukiman, pelajaran bahasa Arab, dan pengajian Alquran
menjadi bagian penting kehidupan sehari-hari.
Di tempat ini pula Muslim Roma hidup berdampingan bersama dua etnis
minoritas pemeluk Islam lainnya di Yunani; Pomak dan Turki. Mereka juga
'relatif' bisa berbaur dengan kelompok minoritas non-Muslim lainnya;
etnis Turki dan Roma pemeluk Kristen Orthodox, dan lainnya. Tidak ada
angka pasti berapa jumlah Muslim Roma di 'kantong' mereka di sini. Hugh
Poulton mengatakan jumlah Athingani, begitu orang Yunani menyebut
mereka, sekitar 20 ribu. Angka resmi pemerintah Yunani menyebutkan
jumlah Muslim Roma di Thrace Barat sekitar 15 persen dari 338 ribu
pemeluk Islam di tempat ini.
Di luar propinsi Thrace Barat, lebih tepatnya di seluruh Yunani,
jumlah etnis Roma mencapai 350 ribu atau 3 persen dari seluruh penduduk
negeri yang melahirkan konsep Trinitas Kristen ini. Sebagian besar
relatif bermukim secara pernamenen di kota-kota di sekitar Athena Raya,
dan lainnya masih berpola hidup nomadik, atau berpindah dari satu ke
lain tempat.
Secara umum mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok
pertama disebut Ficira atau Bacora. Mereka menjadi termarjinalisasi
sebagai akibat krisis sektor pertanian yang menyebabkan mereka terbuang
dari pasar tenaga kerja. Kesempatan kerja bagi kelompok ini juga menjadi
berkurang setelah masuknya pekerja asing ke pasar gelap.
Kelompok kedua memiliki banyak nama; Filipijie, Handura, Kalpazaj,
atau Rumelie. Dibanding kelompok pertama, komunitas kedua ini berbicara
bahasa Yunani dan Romani. Mereka relatif mapan secara ekonomi, dan
sukses di sektor perdagangan. Serta, ini yang lebih penting, rata-rata
memiliki pendidikan cukup baik.
Tanpa harus memisahkan mereka menjadi
dua kelompok, orang Roma telah ada di Yunani sejak sekian ratus tahun
lampau. Selama itu pula mereka, bersama etnis minoritas lainnya,
mengalami berbagai bentuk pelecehan dan diskriminasi. Mereka tidak
memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pemukiman, dan
menjalankan ibadah sesuai agama yang mereka anut.
Berbeda dengan etnis Turki, orang-orang Roma tidak memiliki 'negara
induk'. Perlakukan buruk sekecil apa pun terhadap etnis Turki di Thrace
Barat akan menimbulkan kemarahan pemerintah Istambul. Namun, negara mana
yang mau peduli ketika orang-orang Roma yang bermukim di kota-kota
kecil di Yunani diperlakukan tidak manusiawi, dan hak-hak mereka
dirampas.
Tahun 1923, usai perang Turki-Yunani 1920-22, banyak orang-orang Roma
di Thrace Barat mengidentifikasi diri sebagai orang Turki. Cara ini
dilakukan karena Perjanjian Laussane 1923 -- yang mengakhiri perang
kedua negara -- mengakui eksistensi minoritas Muslim di Thrace Barat dan
menjamin hak-haknya.
Tidak mudah bagi orang-orang Roma melakukan semua itu. Pemerintah
Yunani hanya mengakui minoritas Muslim di Thrace adalah etnis Turki,
bukan Roma atau lainnya. Akibatnya, upaya orang-orang Roma
mengidentifikasi diri mereka sebagai entis Turki gagal total.
Selama sekian puluh tahun mereka menjadi sesosok etnis tanpa negara,
tanpa hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dan melakukan kegiatan
ritualnya dengan bebas. Di Komotini, sejumlah etnis Roma yang telah
berasimilasi dengan etnis Turki gagal memperoleh status kewarganegaraan.
Bahkan, pemerintah Yunani berupaya mengeluarkan orang-orang Roma dari
komunitas Turki.
Perubahan baru tejadi tahun 1970, ketika pemerintah Yunani
mengumumkan Muslim dan Kristen Roma yang orangtuanya lahir di Yunani
berhak mendapatkan status kewarganegaraan Yunani. Tapi, tidak banyak
dari mereka yang bisa membuktikan bahwa orang tua mereka lahir di
Yunani. Tidak heran jika orang-orang Ficira atau Bacora tidak memiliki
kartu identitas kewarganegaraan.
Ini pula yang menyebabkan mereka sulit memperoleh jaminan pendidikan,
kesehatan, dan perumahan, atau apa pun yang mereka harus dapatkan
sebagai warga negara Yunani. Kalau pun mereka memiliki sekeping tanah di
pinggir kota, jangan berharap memperoleh izin pembangunan rumah. Mereka
juga tidak akan berpikir memperoleh lisensi mengendari mobil sebagai
bekal menjadi sopir.
Greek Helsinki Monitor (GHM) dan European Center for Roma Right
memiliki laporan menarik mengenai semua ini. Sepanjang tahun 1997,
misalnya, sejumlah pemerintahan lokal -- propinsi atau kotamadya --
sepakat mengusir orang-orang Roma dari daerah jurisdiksi mereka. Ancaman
ini berlanjut sampai tahun berikutnya. Pertengahan 1998, sebanyak 3500
etnis Roma -- kebanyakan Muslim -- diusir dari Evosmos, dekat Salonica.
Pemerintah Yunani segera bertindak dengan menyediakan tempat bekas di
kamp latihan militer untuk menampung mereka. Namun, empat wali kota
berupaya mencegah mereka bermukim di situ.
Sekian lama mereka
terkatung-katung. Hidup di bawah tenda-tenda tanpa fasilitas apa pun.
Pejabat pemeritahan kota yang dekat penampungan sementara mereka selalu
mencegah masuknya kontraktor sarana umum. Mereka juga ditolak di tiga
tempat lainnya. Sampai akhirnya mereka terdampar di pinggir sungai.
Pengusiran juga terjadi di sejumlah kota dan desa-desa, meski mereka
telah tinggal 40 sampai 50 tahun lalu.
Semua dilakukan secara sistematis; lewat isu yang mengaitkan setiap
peristiwa kejahatan apa pun dengan etnis Roma. Atau, dengan
identifikasi-identifikasi buruk lainnya. Laporan juga menyebutkan sangat
sedikit jumlah anak-anak Roma yang bersekolah. Sofia Nikolaidou dari
GHM mencatat penyebab utamanya adalah rasisme. Banyak anak-anak Roma
yang mengikuti pelajaran di sekolah Yunani mengatakan mereka tidak tahan
dicemooh dengan kata-kata fuck your Turkey, atau go away, your are
turks.
Pada saat pelajaran agama Kristen Orthodox, anak-anak Muslim Roma
dilarang keluar. Mereka dipaksa mengikuti pelajaran sampai selesai. Atau
mereka harus menghadiri misa pagi sebelum sekolah dimulai. Rasisme juga
semakin nyata di beberapa desa lainnya di dekat Thrace Barat. Komunitas
non-Muslim lebih suka mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah yang
banyak anak-anak Muslim Roma. Akibatnya terjadi eksklusivitas di antara
mereka.
Persoalan juga terjadi di sekolah-sekolah yang menampung anak-anak
Muslim Roma. Di salah satu desa di dekat Xanthi, misalnya, jumlah anak
yang terdaftar 240 orang. Namun, pada saat sekolah dimulai hanya 170
orang saja yang datang. Jumlah ini menyusut menjadi 120 orang saja pada
Maret sampai April, karena anak-anak itu harus membantu orang tuanya
yang sibuk panen asparagus.
Di sejumlah kota dan desa, banyak
komunitas kecil Muslim Roma gagal mengatasi keadaan ini. Laporan GHM
menyebutkan beberapa jumlah kecil keluarga Roma mengaku pindah agama
untuk mendapatkan kesempatan hidup yang layak. Namun, kata laporan itu,
mereka tetaplah Roma yang tidak pernah diakui oleh lingkungan mereka.
Tidak
hanya rasisme yang harus mereka hadapi. Intervensi pemerintah terhadap
pemilihan mufti -- pemimpin komunitas Islam di satu kota -- kerap kali
terjadi. Selain itu, pemerintah juga mengenakan pajak pada tanah-tanah
wakaf. Jika sampai beberapa tahun tidak membayar pajak, tanah wakaf akan
disita. Intervensi pemilihan mufti menyebabkan terpecahnya komunitas
Muslim di dan di luar Thrace Barat. Sedangkan pengenaan pajak terhadap
tanah-tanah wakaf mengakibatkan lemahnya kemampuan finansial mereka.
Catatan nasib buruk ini mungkin terlalu sedikit dibanding apa yang
mereka alami sehari-hari, atau dibanding yang dicatat sejumlah LSM di
Eropa. (RL)
Source: republika.co.id
Kamis, 19 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar