Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu
politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Ilmuwan legendaris
di abad ke-10 M itu diakui dunia sebagai salah seorang peletak dasar
keilmuan politik Islam.
Gagasan dan pemikirannya tentang ilmu
politik yang dituangkan dalam bukunya yang amat fenomenal berjudul
Al-Ahkam al- Sultania wa al-Wilayat ad-Diniyya, hingga kini masih tetap
diperbincangkan.
Selain menguasai ilmu politik, intelektual
Muslim bernama Al-Mawardi ini juga dikenal sebagai ahli hukum, pakar
ilmu hadis, serta sosiolog Muslim terkemuka. Ia sempat mengabdikan
dirinya menjadi ahli hukum di sekolah fikih. Dalam bidang ini, sang
pemikir Muslim itu melahirkan dasar-dasar yurisprudensi yang reputasinya
begitu monumental bertajuk, Al-Hawi, yang terdiri atas 8.000 halaman.
Kemampuannya
dalam bidang hukum yang begitu mumpuni membuat Al-Mawardi berkali-kali
diangkat sebagai hakim (qadhi) di berbagai provinsi. Kelihaiannya dalam
melakukan lobi-lobi politik juga membuat khalifah mendaulatnya sebagai
duta keliling pemerintahan Abbasiyah.
Ketika situasi politik
kenegaraan bergolak, Al-Mawardi pun tampil sebagai tokoh pemersatu.
Sebagai seorang pemikir yang independen, ia terus menyuarakan mediasi
antara dua kekuatan yang bertikai pada zamannya, yakni pemerintahan
Abbasiyah dan militer Syiah Buyid.
Ia tak memihak pada satu
kubu, melainkan tampil sebagai tokoh yang netral. Tak salah, jika
seorang orientalis menyebut ulama penganut mazhab Syafi’i bernama
lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Habib Al-Mawardi ini sebagai Khatib Baghdad.
Sejatinya,
Al-Mawardi adalah putra dari seorang saudagar minyak mawar. Ia terlahir
di pusat kota peradaban Islam klasik, Basrah, pada 386 H/975 M.
Al-Mawardi kecil menempuh pendidikan dasar di tanah kelahirannya. Ilmu
hukum telah membetot perhatiannya sejak masih remaja. Ia lalu berguru
kepada seorang pakar hukum mazhab Syafi’i terkemuka bernama, Abul Qasim
Abdul Wahid As-Saimari.
Setelah menguasai ilmu hukum Islam (fikih), Al-Mawardi akhirnya memutuskan hijrah ke Baghdad untuk menimba ilmu lainnya.
Ia
memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syekh
Abdul Hamid Al-Isfraini dan Abdullah Al-Bafi. Berkat otaknya yang
encer, dalam waktu singkat ia pun telah menguasai beragam ilmu, seperti
hadits, fikih, politik, filsafat, etika, dan sastra.
Kemampuannya
dalam mengusai beragam ilmu itu mengantarkannya pada sebuah perjalanan
karier yang cemerlang. Menjadi hakim merupakan jabatan pertama yang
ditawarkan khalifah kepadanya.
Keberhasilannya sebagai hakim di
berbagai daerah kekuasaan Abbasiyah mengantarkannya pada jabatan yang
lebih tinggi. Hingga akhirnya, Al-Mawardi mencapai puncak karier dalam
bidang kehakiman saat diangkat sebagai hakim ketua di Baghdad.
Prestasinya
yang begitu cemerlang membuat Khalifah Abbasiyah, Al-Qaim bin Amrullah,
memercayainya sebagai duta besar keliling kekhalifahan. Ia bertugas
dari satu negara ke negera lainnya sebagai pimpinan misi khusus
Pemerintah Abbasiyah. Ia memainkan peranan yang penting untuk tetap
menjaga hubungan diplomatik antara Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai
meredup dengan Dinasti Buwaih dan Seljuk yang mulai menguat.
Keandalannya
dalam berdiplomasi membuat pemerintahan Islam lain yang sedang menguat
menaruh hormat pada sang duta besar. Tak heran, jika berkunjung ke
sebuah negara, Al-Mawardi selalu mendapatkan hadiah dan cendera mata
dari para sultan pada zaman itu. Ia pun menjadi saksi ketika Baghdad
pusat pemerintahan Abbasiyah diambil alih Dinasti Buwaih.
Kontribusinya
bagi peradaban Islam dalam bidang ilmu politik dan sosiologi sungguh
amat tak ternilai. Al-Mawardi telah melahirkan sebuah buku terbesar
dalam khazanah peradaaban Islam, yakni Kitab Al-Ahkam As-Sultaniah. Selain itu, ia juga menulis buku termasyhur lainnya berjudul Qanun al-Wazarah, serta Kitab Nasihat al-Mulk. Buku-buku yang ditulisnya itu membahas tentang dasar-dasar ilmu politik.
Secara
detail dan lugas, dalam buku politiknya Al-Mawardi mengupas tentang
fungsi dan tugas khalifah, perdana menteri, menteri-menteri, hubungan
antara berbagai elemen publik dengan pemerintah, serta langkah-langkah
untuk menguatkan pemerintahan dan memastikan kemenangan dalam
peperangan.
Dua bukunya yang berjudul, Al-Ahkam As-Sultaniah
serta Qanun Al-Wazarah, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Itulah yang membuat Al-Mawardi termasyhur di seantero dunia hingga abad
ini. Ia juga diyakini sebagai seorang penulis Doctrine of Necessity dalam ilmu politik. Al-Mawardi telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas tentang pemilihan khalifah dan kualitas pemilihnya.
Read : Al-Mawardi, Pemikir Termasyhur di Zaman Kekhalifahan (2)
Source: republika.co.id
Kamis, 19 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar