Kitab Al-Ahkam As-Sultaniah diyakini para sejarawan ditulis Al-Mawardi
atas permintaan dari salah seorang Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Hal
itu tercantum dalam prakata buku yang legendaris itu.
Bukunya
yang fenomenal itu telah diakui sebagai karya klasik dalam bidang
politik. Tak hanya diperbincangkan di kalangan intelektual Arab,
Al-Ahkam As-Sultaniah pun menjadi kajian para orientalis.
Tak
heran, kalau pemikiran Al-Mawardi kerap dikutip dalam berbagai buku
diskursus tentang hukum Islam dan pemerintahan. Tak melulu membahas
kekuasaan, buku ini juga telah memperkenalkan batas-batas negara,
reklamasi tanah, suplai air, pajak, serta hal-hal lain yang begitu
detail tentang tugas dan hubungan negara dengan rakyatnya.
Dalam bidang etika, Al-Mawardi menulis kitab berjudul Adab Ad-Dunya wa Ad-Din. Kitab ini sangat populer dan tema-tema yang dibahas di dalamnya masih menjadi bahan kajian di beberapa negara Islam.
Sebagai
salah seorang pemikir ilmu politik terkemuka di abad pertengahan,
pemikiran-pemikirannya telah memberi pengaruh yang begitu besar bagi
pengembangan ilmu politik serta sosiologi. Pemikirannya tentang
sosiologi pada zaman berikutnya dilanjutkan oleh Ibnu Khaldun. Pengaruh
pemikiran Al-Mawardi terhadap Bapak Sosiologi dunia itu terlihat pada
karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun.
Salah
satu ciri khas Al-Mawardi adalah selalu memberikan pandangan dalam
sudut pandang yang berbeda. Inilah ciri khas pemikir yang independen,
netral, dan tak memihak pada satu kelompok atau golongan. Pakar politik
seperti ini sangat sulit ditemukan pada zaman modern. Al-Mawardi tutup
usia pada 1058 M. Meski begitu, namanya tetap abadi dan akan dikenang
sepanjang masa.
Kitab Al-Ahkam As-Sultaniah (Hukum-Hukum Kekuasaan) begitu fenomenal.
Buah pikir Al-Mawardi tentang ilmu politik itu telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa.
Kitab yang monumental itu merupakan
adikarya sang pakar politik. Dalam kitab itulah, pemikiran dan gagasan
Al-Mawardi tentang politik tercurah dengan begitu jelas. Tak hanya
berlaku pada masanya, prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan
yang dicetuskannya hingga kini masih tetap menjadi wacana yang menarik
diperbincangkan bahkan diperdebatkan.
Buku dasar-dasar ilmu
politik itu mencakup berbagai hal, seperti pengangkatan imamah (kepala
negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad
bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana.
Kitab
Al-Ahkam AS-Sultaniah juga mengkaji masalah imam shalat, zakat, fa’i,
ghanimah (rampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan
daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal,
fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, dan
masalah dokumen negara dengan begitu lengkap dan detail.
Imam,
baik itu raja, presiden, atau sultan menurut Al-Mawardi, adalah sebuah
keniscayaan. keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau
negara. Tanpa kehadiran seorang imam, ungkap dia, sebuah masyarakat atau
negara akan kacau. Tanpa kehadiran pemimpin, manusia menjadi tidak
bermartabat. Sebuah bangsa pun menjadi tak lagi berharga.
Inilah
ketentuan seorang imamah yang legal dalam pandangan Al-Mawardi.
Menurutnya, jabatan imamah menjadi sah apabila memenuhi dua metodologi.
Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah
yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai atau juga disebut
model Al-Ikhtiar.
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model
pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe
kedua, Al Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan
Khalifah Umar bin Khathab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash
Shiddiq.
Seorang khalifah, papar dia, bisa dilengserkan dan
harus mundur bila mengalami dua cacat. Pertama, cacat dalam keadilannya
(bisa disebabkan syahwat atau akibat syubhat). Kedua, cacat tubuh. Dalam
kaitan ini adalah cacat panca indera (termasuk cacat yang menghalangi
seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan
secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat
organ tubuh dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi
untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak
mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa
makanan.
Lalu bagaimana konsep jihad menurut Al-Mawardi? Selain
terdapat perintah jihad kepada orang kafir, masih ada tiga jenis jihad
lainnya, yakni jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para
pemberontak (bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan.
Read: Al-Mawardi, Pemikir Termasyhur di Zaman Kekhalifahan (1)
Source: republika.co.id
Kamis, 19 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar