Kamis, 19 Juli 2012

Al-Mawardi, Pemikir Termasyhur di Zaman Kekhalifahan (1)

Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Ilmuwan legendaris di abad ke-10 M itu diakui dunia sebagai salah seorang peletak dasar keilmuan politik Islam.

Gagasan dan pemikirannya tentang ilmu politik yang dituangkan dalam bukunya yang amat fenomenal berjudul Al-Ahkam al- Sultania wa al-Wilayat ad-Diniyya, hingga kini masih tetap diperbincangkan.

Selain menguasai ilmu politik, intelektual Muslim bernama Al-Mawardi ini juga dikenal sebagai ahli hukum, pakar ilmu hadis, serta sosiolog Muslim terkemuka. Ia sempat mengabdikan dirinya menjadi ahli hukum di sekolah fikih. Dalam bidang ini, sang pemikir Muslim itu melahirkan dasar-dasar yurisprudensi yang reputasinya begitu monumental bertajuk, Al-Hawi, yang terdiri atas 8.000 halaman.

Kemampuannya dalam bidang hukum yang begitu mumpuni membuat Al-Mawardi berkali-kali diangkat sebagai hakim (qadhi) di berbagai provinsi. Kelihaiannya dalam melakukan lobi-lobi politik juga membuat khalifah mendaulatnya sebagai duta keliling pemerintahan Abbasiyah.

Ketika situasi politik kenegaraan bergolak, Al-Mawardi pun tampil sebagai tokoh pemersatu. Sebagai seorang pemikir yang independen, ia terus menyuarakan mediasi antara dua kekuatan yang bertikai pada zamannya, yakni pemerintahan Abbasiyah dan militer Syiah Buyid.

Ia tak memihak pada satu kubu, melainkan tampil sebagai tokoh yang netral. Tak salah, jika seorang orientalis menyebut ulama penganut mazhab Syafi’i bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Habib Al-Mawardi ini sebagai Khatib Baghdad.

Sejatinya, Al-Mawardi adalah putra dari seorang saudagar minyak mawar. Ia terlahir di pusat kota peradaban Islam klasik, Basrah, pada 386 H/975 M. Al-Mawardi kecil menempuh pendidikan dasar di tanah kelahirannya. Ilmu hukum telah membetot perhatiannya sejak masih remaja. Ia lalu berguru kepada seorang pakar hukum mazhab Syafi’i terkemuka bernama, Abul Qasim Abdul Wahid As-Saimari.

Setelah menguasai ilmu hukum Islam (fikih), Al-Mawardi akhirnya memutuskan hijrah ke Baghdad untuk menimba ilmu lainnya.

Ia memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syekh Abdul Hamid Al-Isfraini dan Abdullah Al-Bafi. Berkat otaknya yang encer, dalam waktu singkat ia pun telah menguasai beragam ilmu, seperti hadits, fikih, politik, filsafat, etika, dan sastra.

Kemampuannya dalam mengusai beragam ilmu itu mengantarkannya pada sebuah perjalanan karier yang cemerlang. Menjadi hakim merupakan jabatan pertama yang ditawarkan khalifah kepadanya.

Keberhasilannya sebagai hakim di berbagai daerah kekuasaan Abbasiyah mengantarkannya pada jabatan yang lebih tinggi. Hingga akhirnya, Al-Mawardi mencapai puncak karier dalam bidang kehakiman saat diangkat sebagai hakim ketua di Baghdad.

Prestasinya yang begitu cemerlang membuat Khalifah Abbasiyah, Al-Qaim bin Amrullah, memercayainya sebagai duta besar keliling kekhalifahan. Ia bertugas dari satu negara ke negera lainnya sebagai pimpinan misi khusus Pemerintah Abbasiyah. Ia memainkan peranan yang penting untuk tetap menjaga hubungan diplomatik antara Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai meredup dengan Dinasti Buwaih dan Seljuk yang mulai menguat.

Keandalannya dalam berdiplomasi membuat pemerintahan Islam lain yang sedang menguat menaruh hormat pada sang duta besar. Tak heran, jika berkunjung ke sebuah negara, Al-Mawardi selalu mendapatkan hadiah dan cendera mata dari para sultan pada zaman itu. Ia pun menjadi saksi ketika Baghdad pusat pemerintahan Abbasiyah diambil alih Dinasti Buwaih.

Kontribusinya bagi peradaban Islam dalam bidang ilmu politik dan sosiologi sungguh amat tak ternilai. Al-Mawardi telah melahirkan sebuah buku terbesar dalam khazanah peradaaban Islam, yakni Kitab Al-Ahkam As-Sultaniah. Selain itu, ia juga menulis buku termasyhur lainnya berjudul Qanun al-Wazarah, serta Kitab Nasihat al-Mulk. Buku-buku yang ditulisnya itu membahas tentang dasar-dasar ilmu politik.

Secara detail dan lugas, dalam buku politiknya Al-Mawardi mengupas tentang fungsi dan tugas khalifah, perdana menteri, menteri-menteri, hubungan antara berbagai elemen publik dengan pemerintah, serta langkah-langkah untuk menguatkan pemerintahan dan memastikan kemenangan dalam peperangan.

Dua bukunya yang berjudul, Al-Ahkam As-Sultaniah serta Qanun Al-Wazarah, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Itulah yang membuat Al-Mawardi termasyhur di seantero dunia hingga abad ini. Ia juga diyakini sebagai seorang penulis Doctrine of Necessity dalam ilmu politik. Al-Mawardi telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas tentang pemilihan khalifah dan kualitas pemilihnya.



Read :  Al-Mawardi, Pemikir Termasyhur di Zaman Kekhalifahan (2)

Source: republika.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post Home