Jumat, 20 Juli 2012

Kairo, Kota Beragam Peradaban

Kota seribu menara. Itulah julukan yang disandang Kairo—salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Islam.

Pada abad pertengahan, Ibukota Mesir yang berada di benua Afrika itu memainkan peranan yang hampir sama pentingnya dengan Baghdad di Persia serta Cordoba di Eropa.

Kairo yang terletak di delta Sungai Nil telah didiami manusia Mesir Kuno sejak tahun 3500 SM. Mesir Kuno sempat mencapai kemakmuran di bawah penguasa Zoser, Khufu, Khafre, Menaure, Unas dan lainnya. Di masa itu, ibukota Mesir Kuno itu sudah menjadi salah satu kota yang berpengaruh di dunia.

Sejak 30 SM, Mesir dikuasai bangsa Romawi. Kekuasaan Romawi di Mesir akhirnya tumbang ketika Islam menjejakkan pengaruhnya pada tahun 641 M. Adalah pasukan di bawah komando jenderal perang Muslim, Amar bin Ash, yang pertama kali menancapkan pengaruh Islam di Mesir.

Saat itu, Amar bin Ash justru menjadikan Fustat—kini bagian Kota Kairo—sebagai pusat pemerintahannya. Di Fustat itulah, bangunan masjid pertama kali berdiri di daratan Afrika. Fustat tercatat mengalami pasang surut sebagai sebuah kota utama di Mesir selama 500 tahun.

Penjelajah dari Persia, Nasir-i-Khusron mencatat kemajuan yang dicapai Fustat. Ia melihat betapa eksotik dan indahnya barang-barang di pasar Fustat, seperti tembikar warna-warni, kristal dan begitu melimpahnya buah-buahan dan bunga, sekalipun di musim dingin.

Dari tahun 975 sampai 1075 M Fustat menjadi pusat produksi keramik dan karya seni Islami—sekaligus salah satu kota terkaya di dunia. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar—basis pendukung Abbasiyah.

Kota itu bertahan menjadi ibukota pemerintahan hingga tahun 868 M. Sekitar 1168 M, Fustat dibumihanguskan agar tak dikuasai tentara Perang Salib.

Berdirinya Kairo sebagai ibukota dan pusat pemerintahan diawali gerakan penumpasan golongan Syiah yang dilancarkan penguasa Abbasiyah di Baghdad.

Kongsi yang dibangun golongan Syiah dengan Bani Abbas untuk menjatuhkan Bani Umayyah akhirnya pecah.

Penguasa Abbasiyah mencoba meredam perlawanan golongan Syiah Ismailiyah di bawah pimpinan Ubaidillah Al-Mahdi. Setelah sempat ditahan, Ubaidillah akhirnya dibaiat menjadi khalifah bergelar Al-Mahdi Amir Al-Mu'minin (909 M).

Pengganti Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi, Muizz Lidinillah, mulai mengalihkan perhatiannya ke Mesir. Ia menunjuk Panglima Jauhar Al-Katib As-Siqili untuk menaklukan Mesir.

Tahun 969 M, Mesir berada dalam kekuasaan Syiah Ismailiyah. Sejak itu, mereka membangun kota baru yang diberi nama Al-Qahirah atau Kairo yang berarti 'penaklukan' atau 'kejayaan'. Pada 972 M, di Kairo telah berdiri Masjid Al-Azhar.

Kota Kairo tumbuh pesat setelah pada tahun 973, seiring dengan hijrahnya Khalifah Mu'izz Lidinillah dari Qairawan ke Mesir. Sejak saat itu, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah.

Dinasti itu menorehkan kegemilangan selama 200 tahun. Di masa itu, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz.

Kairo tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia. Kairo pun menggabungkan Fustat sebagai bagian dari wilayah administratifnya. Tak heran, jika Kairo tumbuh semakin pesat sebagai salah satu metropolis modern yang diperhitungkan dan berpengaruh.

Pada era itu pula, Kairo menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Bahkan, pada masa pemerintahan Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M - 996 M), Kairo mampu bersaing dengan dua ibukota Dinasti Islam lainnya yakni, Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah dan Cordoba pusat pemerintahan Umayyah di Spanyol. Kini, Universitas Al-Azhar menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka yang berada di kota itu.


Source: republika.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post Home